Dinkes : Disamping Waspada Covid-19 Masyarakat Harus Waspada TBC

Spread the love

Tulungagung, Kombes Pagi – Saat ini masyarakat Tulungagung selain waspada terhadap covid-19 yang sedang melanda juga harus waspada terhadap TBC. Hal ini dikarenakan Tuberkulosis (TBC) atau yang sering dikenal dengan TB merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterius tuberculosis. TBC menjadi sangat dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang sangat tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung Kasil Rokhmad melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Didik Eka mengungkapkan, Indonesia menjadi negara ketiga terbesar dengan kasus TBC di dunia setelah India dan China.

“Kita (Indonesia) ranking tiga di dunia. Ada India, China, kemudian Indonesia,” ungkap Didik pada Senin (19/10/20).

Menurut data Kemenkes, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 jiwa dan yang telah ditemukan sekitar 69% atau sekitar 540.000 jiwa. Angka kematian penyakit TBC juga cukup tinggi, yaitu ada 13 orang per jam yang meninggal karena TBC. Kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang sangat tinggi, sama seperti COVID-19.

Walaupun sama-sama berbahaya dan menular melalui droplet serta saluran pernapasan, Didik menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara TBC dengan COVID-19, mulai dari gejala hingga cara penanganannya.

“Penularannya (TBC dan COVID-19) sama-sama droplet. Namun perbedaannya adalah pada diagnosisnya. Kalau COVID-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri,” ujarnya.

Selanjutnya pada gejala, Didik menjelaskan gejala TBC antara lain onset atau serangan kronik lebih dari 14 hari dengan gejala demam kurang dari 38 derajat celcius disertai batuk berdahak, bercak darah, sesak nafas memberat bertahap, berat badan turun dan berkeringat di malam hari.

Sedangkan gejala COVID-19 antara lain dengan gejala onset akut kurang dari 14 hari disertai demam lebih dari 38 derajat celcius dengan batuk kering, sesak napas muncul segera setelah onset, nyeri sendi, pilek, nyeri kepala, gangguan penciuman atau pengecapan.

Proses diagnosis TBC dan COVID-19 juga memiliki kesamaan dengan menggunakan metode Tes Cepat Molekuler (TCM) dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun, perbedaannya ada pada pengambilan sampel. Untuk diagnosis COVID-19 harus melalui swab, sedangkan TBC cukup dengan dahak.

Selain itu perbedaan besar antara COVID-19 dengan TBC adalah COVID-19 belum ada obat yang dapat menyembuhkan, sedangkan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat diakses secara gratis.

“COVID-19 belum punya obat, sedangkan TBC sudah ada obatnya, dengan catatan harus dikonsumsi dengan baik dan patuh,” kata dia.

Walaupun memiliki obat dalam membantu penyembuhan, masih banyak masyarakat yang menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama sehingga kurang memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumsi obat yang telah tersedia. Ini menyebabkan para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan lagi dengan penyakit tersebut.

“Ketika sudah mengkonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak betul-betul sembuh sempurna. Padahal obat TB harus dikonsumsi dalam waktu yang cukup panjang yaitu enam bulan. Namun pada bulan pertama dan kedua merasa sudah sembuh, padahal belum sembuh. Hal ini yang menjadi resisten dan masalah yang masih menjadi tantangan kita,” ujar Didik.

Didik juga menambahkan bahwa orang yang menderita TBC bukan menjadi penyakit bawaan yang mudah terjangkit COVID-19.

“Menurut data di Tulungagung tidak ada penderita TBC.ujarnya. (BB)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*