Situbondo, Kombes Pagi – Aktivis itu boleh jadi sejatinya, dalam jiwanya jika melihat keadilan, tidak bekerja, kesejahteraan tidak tercapai, kesusahan makin merajalela, dan segalanya ditutup kebohongan maka sudah barang tentu ia tidak akan mendukungnya. Malah,, aktivis yang konsen akan hal itu bisa saja terancam atas suara nyaringnya pasti akan dibungkam sedemikian rupa dengan berbagai cara oleh mereka para penguasa dan tak jarang juga melibatkan APH.
“Dulu yang namanya AKTIVIS cukup disegani karena berani melawan kekuasaan, memberontak terhadap ketidak adilan. Tak jarang AKTIVIS dikejar dan dicari cari kesalahannya dan bahkan sengaja di buatkan salah oleh oknum aparat untuk dibungkam suaranya,”
Namun nampaknya apa yang disaksikan oleh publik belakangan ini malahan sebaliknya sebaliknya. Banyak dari oknum Aktivis merengek dan menjilat ke penguasa. Apalagi mereka mereka yang membentuk koalisi / kelompok seperti yang biasa kita lihat di sekitar kita ini. dan bahkan tak jarang mereka pula berkelamin ganda sebagai oknum jurnalis / pewarta padahal jelas tupoksi antara NGO Dan jurnalis itu jauh berbeda ini sungguh Ironi bukan ?
“Sekarang, banyak yang mengaku AKTIVIS tapi MENJILAT kekuasaan dengan dalil “SINERGITAS dan KONDUSIFITAS bangsa dan bahkan di daerah daerah di Republik ini” dan ironinya lagi tak jarang mereka ikut serta melanggengkan ketidak adilan, bahkan sampai mengeksploitasi dengan mengatsnamakan rakyat.” Ujar Salah satu Aktivis Ternama di Situbondo yang juga Ketua Umum LSM SITI JENAR. Eko.Febrianto.saat dijumpai di kediamannya. Rabu 17 Juni 2020
Menurut Eko, Istilah aktivis memang bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan masyarakat. Para aktivis dikenal sebagai orang-orang yang kritis dan memiliki mental baja dalam melakukan Investigasi untuk memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kepentingan rakyat.
Mereka rela mengambil Resiko terjun ke dalam situasi bahaya bahkan mengancam jiwanya sekalipun. Beberapa aktivis yang kita tahu sebut saja Marsinah, Widji Tukul, Munir, dan yang tak kalah gegernya aktivis lingkungan asal Lumajang Salim Kancil, dan sederet nama lainnya yang bersuara lantang dan berjuang keras hingga tak jarang dari mereka di kriminalisasi dengan segala cara dan bahkan sampa terenggut nyawanya karena di bunuh.
Namun Seiring dengan perubahan zaman, para aktivis macam beginian yang membawa Isu berbagai bidang kini bisa kita temui di media sosial. Mereka lantang menyuarakan ideologi melalui akun-akun pribadi mereka.
Juga, selain aktivis, di media sosial juga muncul istilah aktivis-aktivisan. Bisa juga disebut sebagai aktivis abal-abal atau aktivis gadungan.
Padahal menurut ketua umum LSM SITI JENAR , Eko Febrianto, aktivis adalah seseorang yang memiliki ideologi tertentu yang bergabung dalam sebuah wadah organisasi dan dia mempunyai kemampuan untuk menggerakkan baik itu anggotanya atau stakeholdernya untuk melakukan kegiatan tertentu.
“Mengingat Karena seharusnya sebagai seoarang aktivis tidak ada kepentingan yang sifatnya subjektif individual, juga seyogyanya punya ideologi yang bergabung dengan orang-orang tertentu secara bersama,” jelasnya.
Contoh dari aktivis misalkan, aktivis lingkungan, aktivis antikorupsi, aktivis HAM, dan lain-lain.
Aktivis, kata Eko, dalam hal-hal tertentu mempunyai kapasitas atau kredibilitas tertentu yang diyakini mampu untuk menggerakkan sebuah kegiatan.
Contohnya aktivis yang sebenarnya ialah seperti semisal ICW (Indonesia Corruption Watch). Dia memonitor bagaimana pejabat-pejabat publik itu melaksanakan kegiatannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai, bahwa itu ada pelanggaran atau ada tindakan yang memicu kemungkinan terjadinya korupsi, dia ingin menggerakkan.
“Menggerakkannya adalah dengan menyajikan data dengan keahlian tertentu dan dengan informasi yang akurat, kemudian dia menyampaikan hal itu sehingga mampu menciptakan opini publik,” terangnya.
“Itu yang diharapkan sebagai seorang aktivis. Adalah seseorang yang memang mempunyai idealisme dalam rangka untuk membuat masyarakat itu lebih baik,” imbuhnya.
Masyarakat yang lebih baik di sini dalam artian lebih berdaya, tidak menjadi alat, dan tidak ditekan pihak tertentu. Utamanya adalah masyarakat sipil.
Jadi, jelas bahwa aktivis itu seringkali mempunyai keberpihakan terhadap masyarakat kecil atau publik-publik tertentu sehingga menjadi bagian dalam sebuah pembangunan bangsa secara lebih luas. Jadi, keberpihakannya ada pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan pribadi.
“Sekali lagi bukan untuk kepentingan pribadi. Kalau untuk kepentingan pribadi seperti yang banyak kita jumpai, maaf, dalam tanda kutip dia bukan seorang aktivis kalau menurut saya,” tegas Eko.
Atau, keberpihakannya bisa juga terhadap kepentingan golongan. Namun, kepentingan golongan yang dimaksud di sini tetap harus mampu berdampak untuk kepentingan publik.
“Tujuan utamanya di sana. Jadi bagaimana kemaslahatan itu untuk masyarakat umum. Kelompok-kelompok tertentu itu sebetulnya sebagai alat, organisasi ini sebagai alat. Namun tujuan akhir nya sebetulnya pada pembangunan bangsa dan negara ini, untuk pembangunan serta keadilan masyarakat yang lebih luas,” pungkas Eko. (Rahmat )
Leave a Reply